BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Islam mengenal dua sumber primer
dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-Hadits. Terdapat
perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur’an
sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga
terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada
perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan
spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah
literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad
SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya,
dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan
secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10
H, Islam merasakan kehilangan yang
sangat besar. Nabi Muhammad SAW. yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas
ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an
satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan
yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi,
meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh
atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat. Wahyu-wahyu
dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis
untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas.
Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun
terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa
lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan
sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan
perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah
yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai
bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan
inilah yang kemudian disebut dengan hadits.
B. Dari
latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan.
1. Bagaimanakah
Sejarah hadits pada periode Rasulullah?
2. Bagaimanakah
Sejarah hadits pada periode Sahabat?
3. Bagaimanakah
Sejarah hadits pada periode Tabi’in?
C. Tujuan
Tujuan mempelajari Sejarah
Perkembangan Hadits adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui Sejarah
Perkembangan Hadits pada masa Rasulullah.
2. Untuk mengetahui Sejarah
Perkembangan Hadits pada masa Sahabat.
3. Untuk mengetahui Sejarah
Perkembangan Hadits pada masa Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Perkembangan
Hadits Pada Masa Rasullullah SAW
a. Cara Rasulullah Menyampaikan Hadis
Dalam riwayat Bukhari, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah
bercerita, bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara,
sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya dan tidak mengalami
kejenuhan. Ada beberapa cara yang digunakan oleh Rasulullah SAW. Dalam
menyampaikan hadis kepada para sehabat yaitu:
Pertama, melalui jama’ah yang berada dipusat pembinaan atau
majelis Al-Ilm terkadang kepala suku yang jauh dari madinah mengirim utusannya
ke majelis, untuk kemudian mengajarkan kepada suku mereka sekembalinya dari
sini.
Kedua, melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikan pada orang lain.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW, adalah
melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada dan
futuh mekkah.
b. Perbedaan Antara Sahabat dalam
Menguasai Hadis :
a) Perbedaan mereka dalam soal
kesempatan bersama dengan Rasulullah SAW
b) Perbedaan dalam soal kesanggupan
untuk selalu bersama Rasulullah SAW
c) Perbeadaan mereka dalam soal
kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya pada sahabat lain.
d) Perbedaan mereka dalam waktu masih
islam dan jarak tempat tinggal mereka dari majelis Rasulullah SAW.
c. Sahabat Yang Banyak Menerima Hadits
dari Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, mereka adalah:
a) As-Sabiqun al-awalun (yang mula-mula
masuk islam). Seperti Abubakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi
Thalib dan Ibnu Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari nabi Muhammad
Rasulullaah SAW, karena lebih awal masuk dari sahabat-sahabat lain
b) Ummahad Al-Mukminin (isteri-isteri
rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka lebih dekat denga
Rasulullah SAW dari pada isteri lainnya. Hadits-hadits yang diterima kebanyakan
berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-isteri.
c) Para sahabat yang selalu dekat
dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan hadits-hadits yang diterimanya,
seperti Abdullah Bin Amr Al-As.
d) Sahabat yang tidak lama bersama
Rasulullah SAW, tetapi banyak bertanya kepada sahabat lainnya dengan sungguh-sungguh
seperti Abu Hurairah.
e) Para sahabat yang sungguh-sungguh
mengikuti majelis Rasulullah SAW dan banyak bertanya kepada lain dan dari sudut
usia mereka hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW.
d. Menghafal dan menulis hadis
1) Menghafal hadis
Jika Nabi Muhammad Rasulullah SAW menginstruksikan pada
sahabatnya supaya menulis dan menghafalnya, sedangkan terhadap hadis, beliau
menyuruh mereka menghafal dan melarang mereka menulisnya secara resmi. Ini
bertujuan untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan
Hadis sebagai dua sumber ajaran Islam.
2) Menulis hadis
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW, untuk menulis hadis
ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki catatan hadits yaitu:
1. Abdullah Bin Amr Bin Al-As.
Hadits-hadits
yang terhimpun dalam catatannya berkisar sekitar 1000 hadis yang menurut
pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah SAW yaitu ketika beliau berada
di sisi Rasulullah SAW tanpa ada yang menemaninya.
2. Jabir Bin Abdillah Bin Amr
Al-Anshari ia memiliki catatan hadits tentang manasik haji. Hadits-haditsnya
kemudian diriwayatkan oleh muslim catatan ini dikenang dengan Shaitah Jabir.
3. Abu Hurairah Ad-Dawi memiliki
catatan hadits yang dikenal dengan As-Sahafiah dan As-sahahihah. Hasil karyanya
diwariskan kepada putranya yang bemama Hamam.
4. Abu Syah (Umar Bin Sa’ad Al- Anmari)
seorang penduduk yaman. Ia memilih kepada Rasulullah SAW agar dicatatatkan
hadits yang disampaikan beliau ketika pidato pada peristiwa Futuh Mekkah.
2. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan penyebaran
hadits dilanjutkan oleh para sahabat beliau, terutama oleh khulaf Ar-Rasyidin
(Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib). Namun
pada saat itu perkembangan hadits tidak begitu diutamakan karena prioritas yang
paling utama pada saat itu adalah terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an, dan periwayatan hadits sendiri belum begitu berkembang dan masih di
batasi.
a)
Menjaga
Pesan Rasulullah SAW
Nabi Muhammad adalah Nabi yang
sangat peduli terhadap keselamatan hidup umatnya baik itu kehidupan dunia
terlebih untuk kehidupan akhirat. Beliau tidak henti-henti dan tidak
bosan-bosanya memberikan nasehat, peringatan bahkan teguran terhadap umatnya.
Beliau selalu meminta kepada para umatnya agar selalu berpegang teguh pada
Al-Quran dan As-sunnah yang telah beliau ajarkan dan yang telah beliau sampaikan
serta beliau meminta agar sumber ajaran tersebut disampaikan atau didakwahkan
kepada orang lain yang belum mengetahui tentang kebenaran yang disampaikan oleh
beliau.
Karena para sahabat-sahabat beliau
sangat patuh dan sangat menghormati beliau, maka perintah yang beliau sampaikan
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh para sahabat sehingga pada masa
sahabat perkembangan dan imperium islam sangat luas dan wilayah dakwah islampun
menjadi luas.
b)
Teliti
dalam meriwayatkan dan menerima hadits
Kehati-hatian dan usaha membatasi
periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan kekhawatiran mereka akan
terjadinya kekeliruan pada hadits. Mereka menyadari bahwa hadits adalah sumber
hukum setelah Al-Qur’an yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaiman Al-Qur’an.
Oleh karena itu, para sahabat khususnya khulafa Ar-rasyidin dan sahabat lainnya
berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.
Abubakar sebagai khalifah yang
pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadits. Menurut Adz Dzahabi,
Abu Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadits dengan hati-hati.
Apabila ada sesorang yang ingin menyampaikan sebuah hadits, maka beliau
menyuruhnya untuk mendatangkan saksi-saksi dan apabila saksi tersebut
menyatakan benar maka hadits tersebut pula dinyatakan benar.
M.
Hasbi Ash-Shiddieqy (2002: 38) Sikap
kehati-hatian itu sangat diutamakan oleh para sahabat dan itu juga di tunjukkan
oleh Umar Bin Khatab, beliau juga apabila ada hadits yang ingin disampaikan
maka orang tersebut harus mendatangkan saksi-saksi yang dapat dipercaya. Tetapi
beliau juga selalu menerima hadis tanpa syarat tertentu atau hadis tersebut
dianggap benar, seperti hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan
sahabat-sahabat yang lain juga mereka melakukan hal yang sama dan bahkan orang
yang merupakan sumber hadits tersebut harus melakukan sumpah terlebih dahulu
seperti yang dilakukan oleh Ali Bin Abi Thalib.
c)
Periwayatan
Hadits
Muhammad
Ahmad, dkk (2005: 12) Muhammad
Ada dua jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari
Rasulullah SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafzhi, kedua adalah
periwayatan maknawi :
·
Periwayatan
Lafzhi
Periwayatan lafzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya
persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW., ini hanya bisa dilakukan
apabila mereka benar, benar nebghafl hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Utang Ranu Wijaya
(1996: 12) Kebanyakan
para sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha
agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasulullah SAW, dan bukan
menurut redaksi mereka. Bahkan menururt Ajjal Al-Khatib, seluruh sahabat
menginginkan agar periwayatan hadis itu dilakukan dengan lafzhi bukan dengan
maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan makanannya
saja (maknawi), bahkan mereka tidak membolehkan mengganti satu huruf atau satu
katapun. Begitu pula mendahulukan susunan kata yang disebut rasul belakangan
atau sebaliknya meringankan bacaan yang siqal (berat) dan sebaliknya. Dan dalam
hal ini Umar Bin Khatab pernah berkata: “barang siapa yang mendengar hadis dari
Rasulullah SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan
selamat.
·
Periwayatan
Maknawi
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat
karena tidak menghafal persis yang diwurudkan oleh Nabi Muhammad SAW, di
bolehkan meriwayatkan hadits berdasarkan maknanya (maknawi). Periwayatan
maknawi adalah periwayatan hadis yang matanya tidak sama dengan yang
didengarnya dari Rasulullah SAW. Tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara
utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW.
Mekipun begitu para sahabat melakukan dengan sangat
hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis, ia menggunakan
term-term tertentu untuk meguatkan penukilannya.
Periwayatan hadis dengan maknawi mengakibatkan munculnya
hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits yang lainnya
berbeda-beda, meskipun maksud dan maknanya tetap sania. Hal itu sangat
bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan
haits-hadis tersebut.
3.Perkembangan Hadits Pada Masa
Tabi’in
Wawasan
Hukum Zaman Tabi’in Antara Islam sebagai agama dan hukum terdapat kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di
Madinah Nabi SAW. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang
bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu. Dasar-dasar itu memang
tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu
dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi mengajarkan
tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep
tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang diperoleh melalui
penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang lain,
kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum
wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem
hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk
melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaannya di Madinah adalah
kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah
itu.
Munzier Suparta (2011: 55) Pada masa para sahabat yang kemudian
disusul masa para Tabi’in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang
meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan
meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus.
Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai
heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da’irat al-Ma’murah) telah
mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi
kehukumannya.
Di sebelah
Barat tradisi itu merupakan warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya.
Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk
berbagai segi kehidupan masyarakat yang haruas dijawab para penguasa yang
terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan
intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat
khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara
utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi’in itu ialah semacam pendekatan
ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan
menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat
lingkungan mereka yang secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah.
Barmawie Umarie (1965: 67) Pusat-pusat Pembinaan Hadis Tercatat
beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai
tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, yaitu ialah Madinah
Al-Munawaroh, Mekah Al-Mukaroma, kufah basrah, syam, mesir, magrib, dan
Andalas, yaman, dan khurasan dan sejumlah para sahabat Pembina hadits pada
kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat banyak meriwayatkan hadis,
antara lain Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, Aisyah, Abdullah
Bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id Al-Khudzri.
Endang Soetari (2005: 32) Pusat pembinaan hadis pertama adalah
madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap setelah hijrah. Disini pula
Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang terdiri dari Muahajirin dan Anshar
dari berbagai suku atau kabilah, disamping umat non muslim, seperti yahudi yang
dilindungi oleh beliau. Para sahabat menetap disini, diantaranya khula
Ar-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah Bin Umar, dan Abu Said
Al-khudzri serta para pembesar tabi’in.
Diantara
para sahabat yang membina hadis di mekah tercatat nama-nama, seperti Muadz Bin
Zabal, Atab Bin Asid, Haris Bin Hisyam, Usman Bin Thalhah, dan Uqbah bin
Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini tercatat Mujahid Bin
Jabar, Ata’ Bin Abi Rabah, Tawus Bin Kaisam dan Ikrimah Maula Ibnu Abbas.
Masih banyak para sahabat dan Tabi’in yang berperan dalam perkembangan hadis diberbagai kota.
Masih banyak para sahabat dan Tabi’in yang berperan dalam perkembangan hadis diberbagai kota.
Pergolakan
Politik dan Pemalsuan Hadis Pergolakan politik ini terjkadi pada masa sahabat
setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin, ketika kekuasaan dipegang
oleh Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan
berlarut-larut, dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok. Secara
langsung maupun tidak langsung, pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh
kepada perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat
negative ialah munculnya hadis-hadis palsu (maudu’).
Adapun
pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha untuk
mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya peyelamatan
dari pemusnahan dan pemalsuan akibat dari pergolakan politik tersebut.
4. Perkembangan Hadis pada Masa
Kodifikasi
Proses
Kodifikasi al-Hadits
Proses
kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses
pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal
ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau
merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan
sunnah.
Untuk
itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar
setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada
Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Abu Naaim
(2000: 22) menyatakan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan
perhatikan hadits Nabi dan kumpulkan. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin
Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai
berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah SAW, dan
tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya
ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi SAW (Shahih al-Bukhari,
Juz I. hal 29)
Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm untuk mengumpulkan
hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zaharah al-
Anshariyah dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq.
M. Solahudin (2011: 86) Pengumpulan al-Hadits khususnya di
Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad
bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin
Syihab al-Zuhri yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah
sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd
al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini
jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits
(penulisan al-Hadits).
Tadwin
al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits
dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah
(khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi
telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus
hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa
penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik
karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat.
Tuduhan ini menurut M.M. Azami (2005: 56) lebih disebabkan karena kurangnya
ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan
Hadits.
Pada masa
tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits
yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jamia dan
mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih
dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun
berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits
shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa taadil telah
semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismaail al-Bukhari.
BAB
II
PENUTUP
KESIMPULAN :
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Sejarah
perkembangan hadis di bagi menjadi dua periode yaitu :
a. Perkembangan hadis pada masa
rasulullah
b. Perkembangan hadis pada massa
sahabat
c. Perkembangan hadis pada massa
tabi’in
d. Perkembangan hadis pada massa
kodifikasi
2.
Perbedaan
Antara Sahabat dalam Menguasai Hadis :
a. Perbedaan mereka dalam soal
kesempatan bersama dengan Rasulullah SAW
b. Perbedaan dalam soal kesanggupan
untuk selalu bersama Rasulullah SAW
c. Perbeadaan mereka dalam soal
kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya pada sahabat lain.
d. Perbedaan mereka dalam waktu masih
islam dan jarak tempat tinggal mereka dari majelis Rasulullah SAW.
e. Sahabat Yang Banyak Menerima Hadits
dari Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Naaim, 2000. Tarikh Isbahan.
Semarang: Dimas
Ahmad,
Muhammad, dkk. 2005. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia
Al-Khotib,
Muhammad, ‘Ajjaj. 2003. Ushul Al-Hadits.
Jakarta: Gaya Media Pratama
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. 2002. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Riski Putra
Munzier
Suparta, 2011. Ilmu Hadits. Jakarta
Utara.: Kharisma Putra Utama
M.
Solahudin dan Agus Suyadi, Lc. 2011. Ulumul
Hadits: Bandung. Pustaka Setia
M.M. Azami. 2005. Ulumul Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus
Soetari,
Endang. 2005. Ilmu hadits: Kajian
Diriwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka
Umarie,
Barmawie. 1965. Status Hadits sebagai
Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah
Wijaya,
Utang Ranu. 1996. Ilmu Hadits. Jakarta:
Gaya Media Pratama